Tentang Korupsi, Sekali Lagi. Barangkali telah basi bercerita yang ini-ini, tapi jika tak, maka lebih mulia mati. Sekali lagi ini juga tentang korupsi. Benar dan tak dapat disanggah oleh dalil apapun, komentar singkat Bung Hatta, mengatakan bahwa : “Korupsi di Indonesia sudah membudaya”. Belasan tahun terakhir ini, jumlah kasus korupsi bukan menurun secara kuantitatif, namun justru semakin meningkat secara kuantitatif dan kualitatif. Untuk membuktikannya memang sulit menurut Undang-Undang semata tapi tidak sulit menurut logika. Menurut akal sehat saja ada beberapa orang yang jumlah kekayaannya sangat tidak sesuai dengan gajihnya pamer kekayaan nu nyolok mata buncelik (nu gampang : intip kendaraan yang berjejer di garasi, rumah yang bertebaran di unggal juru, dan biasana mah dibarengi dengan sejumlah istri atau wanita simpanan). Kang Tjetje H. Padmadinata, tokoh Sunda pemerhati Politik, mengatakan bahwa ternyata korupsi itu bukan hanya maling, tapi juga menyeleweng dan berprilaku brengsek. Korupsi juga menurut beliau, bukan hanya perbuatan namun juga sikap mental pelaku. Dan tentang sikap mental ini, menjadi ‘monopoli’, bukan hanya para pejabat yang duduk di pemerintahan namun sudah menular ke lembaga non pemerintahan.
Korupsi dilakukan oleh siapa saja tanpa mengenal batasan usia. Muda, tua sama saja bisa melakukannya. Koruptor muda juga tak kalah lihay dibanding koruptor tua, a bird of one kind flocks together, ceuk bahasa deungeun na mah anu hartina, burung sejenis terbang bersama, polisi dengan polisi, koruptor dengan koruptor, pencuri dengan pencuri. Pangparna parnana panyakit mun nu gering geus teu ngarasa gering (api-api?)
Manusia itu tak akan ada puas-puasnya. Sepanjang hidup, akal sehat akan selalu mendampingi nafsu. Selama kemanusiaan ada, selama itulah yang hak dan bathil, baik dan buruk, akan ada. Konon menurut ki dalang, tugas sang batara bukan untuk membumihanguskan yang bathil, namun sekedar memenangkan yang hak dalam memerangi yang bathil. Jadi, tamatlah lakon kemanusiaan jika yang tertinggal hanya yang hak dan yang bathil saja.
Kembali, mengapa seorang pejabat ingin melakukan korupsi, padahal menurut pengakuan, penghasilan murni seorang bupati, itu sudah cukup. Gaji Gubernur, itu lebih dari cukup. Ada beberapa faktor penyebab seseorang atau kelompok melakukan korupsi, diantaranya adalah lemah iman dalam menghadapi godaan, nafsu berlebihan alias kemaruk, terus juga peraturan yang memberi celah untuk diselewengkan, lalu kesempatan juga memberi peluang, kontrol yang lemah baik intern maupun ekstern, kemudian juga lingkungan yang menggoda dan sanksi yang ringan
Untuk memusnahkan korupsi diperlukan pola-sistematik yang jitu, seperti moro baging (diramekeun?) atau newak papatong (rerencepan?), kajeun teuing neunggar cadas ge. Motto Team Pemberantasan Korupsi dahulu, nampaknya sudah tepat : “Di atas tegas, di bawah tidak gegabah”
Dalam masyarakat yang berorientasi vertikal ke atas, faktor keteladanan dan sistem yang baik, akan menciptakan suasana dan lingkungan yang mendidik untuk mengutuk perbuatan korupsi terhadap kekayaan umum dan kewenangan. Sekalai lagi bahwa pemberantasan korupsi di semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara sudah merupakan To be or not tobe!
Manusia itu tak akan ada puas-puasnya. Sepanjang hidup, akal sehat akan selalu mendampingi nafsu. Selama kemanusiaan ada, selama itulah yang hak dan bathil, baik dan buruk, akan ada. Konon menurut ki dalang, tugas sang batara bukan untuk membumihanguskan yang bathil, namun sekedar memenangkan yang hak dalam memerangi yang bathil. Jadi, tamatlah lakon kemanusiaan jika yang tertinggal hanya yang hak dan yang bathil saja.
Kembali, mengapa seorang pejabat ingin melakukan korupsi, padahal menurut pengakuan, penghasilan murni seorang bupati, itu sudah cukup. Gaji Gubernur, itu lebih dari cukup. Ada beberapa faktor penyebab seseorang atau kelompok melakukan korupsi, diantaranya adalah lemah iman dalam menghadapi godaan, nafsu berlebihan alias kemaruk, terus juga peraturan yang memberi celah untuk diselewengkan, lalu kesempatan juga memberi peluang, kontrol yang lemah baik intern maupun ekstern, kemudian juga lingkungan yang menggoda dan sanksi yang ringan
Untuk memusnahkan korupsi diperlukan pola-sistematik yang jitu, seperti moro baging (diramekeun?) atau newak papatong (rerencepan?), kajeun teuing neunggar cadas ge. Motto Team Pemberantasan Korupsi dahulu, nampaknya sudah tepat : “Di atas tegas, di bawah tidak gegabah”
Dalam masyarakat yang berorientasi vertikal ke atas, faktor keteladanan dan sistem yang baik, akan menciptakan suasana dan lingkungan yang mendidik untuk mengutuk perbuatan korupsi terhadap kekayaan umum dan kewenangan. Sekalai lagi bahwa pemberantasan korupsi di semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara sudah merupakan To be or not tobe!
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan, Jangan lupa komentarnya