Sejarah Asal Usul Tari Guel (Aceh)
Assalamua'alaikum
Wr.Wb..
Jagocopyer, kali ini saya akan
membahas lagi Indonesia dalam Budaya, kita bangga jadi anak Indonesia, karna
kita mempunyai banyak Suku, Ras, Budaya, Adat Istiadat yang beragam, mulai dari
Sabang (Aceh) sampai Meroke (Papua) tidak terhitung jumlah Suku, Ras,
Budaya, Adat Istiadat yang terdapt di Indonesia.
saya sebagai warga Indonesia sangat
bangga mempunyai Suku, Ras, Budaya, Adat Istiadat yang beragam, mari kita
Putra Putri indonesia mari kita lestarikan budaya bangsa, jangan sampai
berhenti di generasi kita.
Untuk melestarikan budaya tidak hanya
terjun langsung ke lapangan banyak cara ntuk mengembangkan budaya. salah
satunya mempublikasikan Nama dan asal usul budaya, supaya generasi akan datang
mengetahui budayanya.. seperti salah satu Tari Guel yang ada di
Provinsi Aceh yang hampir tidak perna di dengar oleh generasi sekarang, seperti
saya saya baru mengetahui tari ini, pada hari ini, setelah membaca baca budaya
indonesia. langsung saya paparkan Sejarah Asal Usul Tari Guel - Aceh.
Asal Usul Tari Guel (Aceh)
Konon, tari Guel berasal daru dua
orang putera Sultan Johor, Malaysia, bernama Muria dan adiknya yang bernama
Segenda. Alkisah, pada suatu hari kedua kakak-beradik itu disuruh oleh orang
tuanya menggembala itik di tepi laut. Sambil menggembala, untuk mengisi
kebosanan, mereka bermain layang-layang. Suatu saat, datanglah angin kencang
yang membuat layang-layang mereka putus. Secara spontan mereka berusaha sekuat
tenaga mengejar layang-layangnya yang putus itu, sehingga lupa pada itik-itik
yang harus mereka jaga. Karena kelengahan ini, itik-itik yang harus mereka jaga
berenang dan akhirnya hilang di tengah laut. Sebagai catatan, versi lain dari
cerita ini yang menyatakan bahwa, akibat hembusan angin yang sangat kencang itu
mereka bersama layang-layangnya diterbangkan oleh angin hingga jatuh di Negeri
Serule, Aceh Tengah yang dikuasai oleh Raja Cik Serule yang bergelar Muyang
Kaya Lanang Bejeye.
Setelah lelah mengejar layang-layang
yang putus, kembali lagi ke tepi laut untuk membawa itik-itiknya pulang. Namun
sesampai di sana, mereka tidak mendapati satu ekor itik pun karena seluruhnya
telah hilang di telah ombak lautan. Dengan perasaan takut karena lalai dalam
menjalankan tugas yang diberikan, akhirnya mereka pulang untuk melaporkan
kejadian itu pada orang tua mereka. Sesampai di rumah, mereka segera melapor.
Mendengar laporan kedua anaknya tersebut, sang ayah menjadi murka dan menyuruh
mereka mencari itik-itik itu sampai dapat dan sebelum dapat tidak boleh pulang
ke rumah. Akhirnya kedua kakak-beradik itu pergi dengan sebuah sampan
mengarungi lautan luas untuk mencari itik-itik yang hilang. Namun setelah
berhari-hari mencari ke segala penjuru mata angin, akhirnya mereka tersesat dan
terdampar di sebuah negeri yang bernama Surele.
Saat mereka sampai di Negeri Serule
hari telah gelap gulita. Kemudian mereka menuju ke sebuah meunasah/langgar
untuk beristirahat karena sekujur tubuh mereka basah serta lemah lunglai
setelah berhari-hari berada di tengah lautan. Pada pagi harinya barulah rakyat
Serule terkejut mendengar ada dua anak terdampar di negeri mereka. Rakyat
Serule beramai-ramai menuju ke meunasah untuk membawa kedua anak itu ke istana
Raja Cik Serule untuk diinterogasi. Setelah kedua anak itu menjelaskan asal
usulnya, maka raja menjadi iba dan mengangkat mereka menjadi anak angkatnya.
Kedua anak itu sangat disayangi oleh Raja Cik Serule.
Selama kedua anak itu berada di Negeri
Serule, rakyat Serule makmur, aman dan sentosa. Hal ini terjadi karena kedua
anak itu mempunyai tuah/kesaktian yang menakjubkan. Sebagai pertanda bahwa
mereka memiliki tuah tersebut adalah tatkala menjelang senja hari selalu
terlihat cahaya menyala-nyala di atas langit Negeri Serule.
Melihat kemakmuran Negeri Serule
akibat kesaktian atau tuah dari kedua anak itu, maka raja Linge, yang berasal
dari negeri tetangga merasa cemburu. Kemudian ia memerintahkan kepada para
prajuritnya untuk membunuh kedua anak itu. Namun dalam usaha pembunuhan itu,
yang terbunuh hanya Muria, kakak dari Segenda. Sedangkan Segenda berhasil
diselamatkan oleh Raja Cik Serule dengan menyembunyikannya di suatu tempat
diketahui oleh sembatang orang. Jasad Muria yang terbunuh itu dikuburkan di
tepi sungai di Desa Samarkilang, Aceh Tengah.
Pada setiap akhir tahun raja-raja
harus datang ke Kutaraja untuk mengantarkan atau mempersembahkan “cup usur”
(upeti) kepada Sultan Aceh. Kebetulan pada tahun itu Raja Cik Serule membawa
serta Segenda. Saat para raja mengadakan pertemuan dengan Sultan Aceh, si
Segenda yang bukan seorang raja, menunggu di halaman istana. Sambil menunggi,
ia mengisi waktunya dengan seekor gajah yang berwarna putih. Rupanya lukisan
Sengeda itu menarik perhatian puteri Sultan. Sang puteri kemudian meminta
ayahnya (Sultan Aceh) untuk mencarikan jenis binatang yang dilukis oleh
Segenda.
Sultan Aceh enggan untuk menolak
permintaan anaknya tersebut dan memerintahkan Raja Cik Serule bersama Segenda
mencari dan menangkap gajah itu untuk dipersembahkan kepada Sultan Aceh. Raja
Cik Serule sangat kebingungan menerima tugas yang berat itu, sebab ia tidak
tahu bagaimana cara mencari dan menangkap gajah tersebut. Melihat kebinggungan
ayah angkatnya itu, Segende kemudian bercerita bahwa beberapa malam sebelumnya
ia didatangi oleh roh kakaknya (Muria) yang dibunuh dan dikubur di Desa
Samarkilang. Roh kakaknya itu memberikan petunjuk dimana mereka dapat mencari
gajah putih.
Keesokan harinya Raja Cik Serule, yang
bergelar Muyang Kaya pergi bersama Segenda mencari gajah itu sesuai dengan
petunjuk yang telah disampaikan roh Muria melalui mimpinya. Sesampainya mereka
ke tempat gajah itu, yang ketika itu sedang berkubang, maka mereka segera
memasangkan tali kulit ke leher gajah putih itu. Mulanya gajah putih itu hanya
diam saja, tetapi tiba-tiba gajah itu berlari dengan sangat kencang. Gajah
putih itu akhirnya baru berhenti di dekat kuburan Muria di Kampung Samarkilang.
Walaupun segala macam cara telah dilakukan, tetapi sang gajah putih tetap tidak
beranjak dati tempatnya. Akhirnya mereka menggunakan cara lain yaitu rayuan
yang lemah lembut dan menari dengan meiluk-liukkan tubuh. Melihat tingkah polah
kedua orang itu, sang gajah akhirnya terbujuk dan bersedia ikut menuju istana
Sultan Aceh.
Gerakan-gerakan tubuh yang dilakukan
oleh Raja Cik Serule dan Segenda itu akhirnya menjadi vikal bakal tari ugel
yang menjadi tari tradisional khas rakyat Gayo.
Sumber:
Hakim, A.R. 1986. Bunga Rampai Cerita
Rakyat Gayo, Seri IV. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek
Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
Jago Copy Blogspot
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan, Jangan lupa komentarnya