pemerintah Indonesia dan para gerilya Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Sejak itu telah terjadi banyak
perkembangan yang positif, dan yang paling menonjol, penurunan drastis tingkat kekerasan.
Namun demikian, perjanjian perdamaian tersebut bukan merupakan penyelesaian bagi perdamaian,
melainkan lebih merupakan kerangka kerja untuk melakukan negosiasi menuju penyelesaian konflik,
dan hal ini masih sangat rapuh. Dua bulan pertama beranjaknya kesepakatan tersebut seharusnya
merupakan tahapan membangun kepercayaan, namun bukannya kepercayaan yang dibangun, justru
kecurigaan masing-masing pihak terhadap maksud lawannya di jangka panjang semakin menguat.
Pada tanggal 9 Februari 2003, kedua belah pihak memasuki tahap pelaksanaan selama lima bulan,
namun dengan beberapa perselisihan utama belum terselesaikan. Hal ini termasuk bagaimana pihak
militer Indonesia akan melakukan relokasi seiring dengan penempatan jumlah senjata yang kian
meningkat di berbagai lokasi tertentu oleh GAM. Pemimpin GAM mungkin telah menerima konsep
otonomi sebagai titik awal pembicaraan namun bukan sebagai tjuan akhir politik, selain itu kelompok
gerilya tetap tidak banyak tergugah untuk mengubah diri menjadi partai politik yang menjadi bagian dari
sistim elektoral di Indonesia Kecil kemungkinannya tentara Indonesia bakal
berdiam diri untuk waktu yang tidak pasti jika meredanya kekerasan justru menimbulkan lebih
banyak lagi kegiatan organisasi menuju kemerdekaan, seperti yang tampaknya tengah
terjadi, apakah kegiatan tersebut secara formal melanggar perjanjian atau tidak. Pemerintah propinsi
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) pun menjadi penghalang menuju perdamaian yang kekal, karena
kredibilitasnya yang sangat rendah, selain secara luas dipandang korup. Selama pemerintahan tersebut
dilihat sebagai wujud “otonomi” sebagaimana yang diberikan kepada Aceh sesuai undang-undang
Agustus 2001, maka banyak orang Aceh tetap melihat kemerdekaan sebagai alternatif yang lebih
baik. Perjanjian 9 Desember 2002 yang ditengahi oleh sebuah organisasi non pemerintah berkedudukan di Jenewa, yaitu Henri Dunant Centre (HDC), merupakan hasil dari proses negosiasi yang alot
selama tiga tahun, serta berbagai upaya berselang untuk mengakhiri kekerasan yang berhasil untuk
waktu yang singkat, namun kemudian runtuh. Perjanjian ini berbeda dengan yang sebelumnya.
Ada pemantau mancanegara. Struktur bagi penyelidikan dan pelaporan pelanggaran yang
dimilikinya sudah jauh lebih transparan daripada perjanjian-perjanjian sebelumnya. Selain itu didukung oleh jajaran tertinggi pemerintahan Indonesia serta oleh serangkaian luas donatur internasional. Perjanjian ini merupakan kesempatan yang terbaik – dan mungkin yang terakhir – bagi 4,4 juta rakyat Aceh untuk mencapai perdamaian melalui perundingan. Ini mungkin juga menjadi kesempatan terakhir memperoleh dukungan internasional untuk melakukan reformasi pada pemerintahan setempat serta mendapatkan bantuan rekonstruksi pasca-perang yang cukup besar. Jika perjanjian dapat bertahan, tidak semua pihak menang, namun jika gagal, maka semua pihak kalah.
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan, Jangan lupa komentarnya