Surga Rempah-Rempah
Memang, sejak dahulu Indonesia telah dikenal sebagai surga rempah-rempah. Tanaman seperti cengkeh, jahe, jintan, merica, kemiri, bawang merah/putih, dan sebagainya, tersedia melimpah ruah. Khususnya di wilayah Indonesia Timur (Maluku).
Rempah-tempah pada masa prakolonial merupakan barang dagangan paling berharga. Tak hanya digunakan sebagai penyedap rasa, rempah-rempah juga biasa digunakan dalam pengobatan. Karenanya, ketenaran rempah-rempah tak kalah dengan emas batangan.
Berbekal alasan seperti itu, bangsa-bangsa Eropa berupaya mencari jalan menuju pulau-puau di Nusantara yang diketahui sebagai sumber rempah-rempah. Mulai dari bangsa Portugis, Spanyol, Belanda hingga Inggris, pernah mencicipi keuntungan perdagangan rempah-rempah tersebut. Perdagangan yang akhirnya mengambil bentuk monopoli dan penguasaan wilayah (kolonial).
Bangsa Portugis
Pada awal abad ke-16 (1511), bangsa Portugis di bawah pimpinan Alfonso D’albuquerque, menguasai Malaka, pusat perdagangan Islam di Asia Tenggara. Tujuannya adalah untuk mendominasi sumber perdagangan rempah-rempah.
Tak puas menguasai Malaka, Portugis kemudian melanjutkan ekspedisinya menuju Timur, yaitu ke Ternate (Maluku) tahun 1512. Berbeda dengan Malaka yang merupakan pusat perdagangan rempah-rempah, Ternate adalah sumbernya. Penghasil utama remah-rempah yang berkualitas dan bernilai jual tinggi.
Bangsa Portugis pun berupaya menaklukkan Ternate yang saat itu dikuasaai kerajaan-kerajaan lokal. Peperangan tak terhindarkan dan berakhir dengan dikuasainya Ternate oleh bangsa Portugis.
Tak hanya mendirikan pos dan benteng perdagangan, bangsa Portugis juga berupaya “menginternalkan” budaya mereka ke dalam rakyat Ternate. Budaya Portugis tersebut sampai sekarang masih dapat dilacak jejaknya di kehidupan masyarakat Ternate (Maluku).
Bangsa Spanyol
Tidak ingin kalah dengan negara tetangganya (Portugis), bangsa Spanyol juga turut serta dalam “perburuan” rempah-rempah. Hanya bedanya, jika Portugis mengambil arah timur melewati Afrika dan India, maka Spanyol sebaliknya. Mereka mengambil arah barat, yaitu melewati Benua Amerika, kepulauan Filipina, dan akhirnya mendarat ke Ternate pada 1521.
Terjadilah perseteruan antara kedua bangsa kolonial tersebut untuk memperebutkan penguasaan atas Ternate. Perseteruan yang memaksa Paus (pemimpin spiritual umat Katolik) untuk campur tangan. Kedua bangsa itu akhirnya berdamai dengan menandatangani Perjanjian Saragossa (Zaragoza). Perjanjian yang salah satu isinya berupa pemberian “hak milik” wilayah Kepulauan Ternate kepada bangsa Portugis.
Bangsa Belanda dan Inggris
Dua bangsa yang terakhir ini boleh dibilang telat datang ke Nusantara. Bangsa Belanda pertama kali menjejakkan kakinya pada tahun 1596 di bawah pimpinan Cornelis de Houtman. Kedatangan mereka sama seperti bangsa Portugis dan Spanyol, yaitu untuk berdagang. Hal ini terlihat dari dibentuknya suatu komisi perdagangan, yang kemudian dikenal dengan nama Vereegnigde Oostindische Compagnie (VOC).
Begitu juga bangsa Inggris datang ke Nusantara pada 1811 dengan kongsi dagang bernama East India Company (EIC), berpusat di India. Tujuannya, merebut seluruh wilayah kekuasaan Belanda yang saat itu sudah menguasai sebagian besar Nusantara (tak hanya di Ternate).
Mengulang kelakuan bangsa Portugis dan Spanyol, kedua bangsa ini (Belanda dan Inggris) pun saling bertikai. Peperangan tak terhindarkan, dan baru berakhir ketika disepakatinya perjanjian London tahun 1815.
Berisi kesepakatan bahwa Inggris harus mengembalikan kekuasaannya di Indonesia kepada Belanda. Sejak saat itu, kekuasaan kolonial Belanda tak tergoyahkan hingga invasi Jepang pada tahun 1942 dan kemerdekaan bangsa Indonesia tahun 1945.
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan, Jangan lupa komentarnya