Undang-undang Kewarganeraan yang kontroversial ini ditentang oleh sejumlah kelompok pegiat hak asasi Israel yang menganggapnya sebagai rasis dan mengajukan gugatan hukum untuk membatalkannya. "Ini merupakan hari yang gelap bagi perlindungan hak asasi manusia dan bagi pengadilan tinggi Israel," demikian pernyataan tertulis Asosiasi Hak-hak sipil Israel (ACRI).
Namun seorang hakim agung, Asher Grunis, menanggapinya dengan mengatakan hak asasi tidak boleh menjadi resep untuk bunuh diri nasional. Laporan-laporan menyebut enam hakim mendukung undang-undang yang kontroversial itu dan lima lagi menentang.
Berdasarkan peraturan, pria Palestina yang berusia 36 tahun ke atas dan perempuan berusia 26 tahun ke atas hanya mendapat izin tinggal sementara di Israel. Mereka mendapat izin untuk bekerja namun harus diperbaharui secara berkala dan tidak mendapat tunjangan sosial.
Diperkirakan terdapat ribuan warga Palestina yang terkena dampak dari undang-undang ini. Sejak tahun 1993, sebanyak 100.000 warga Palestina mendapat izin sementara untuk tinggal di wilayah Israel dan banyak warga Israel yang melihatnya sebagai ancaman keamanan.
Sebanyak tiga juta orang Palestina tinggal di kawasan pendudukan Tepi Barat dan Jalur Gaza dan banyak keluarga yang hidup terpisah akibat tembok pembatas. Dalam waktu beberapa tahun belakangan, perkawinan antara warga Palestina dan Israel menjadi lebih biasa. Secara umum Israel memberikan kewarganegaraan kepada pasangan warga Israel melalui proses yang berlangsung secara perlahan-lahan.
Tahun 2002, sebuah peraturan yang berlaku sementara melarang warga Palestina yang berpasangan dengan warga Israel mengikuti proses tersebut. Setahun kemudian parlemen Israel mengesahkannya sebagai undang-undang dan sudah diperpanjang dua kali walau ditentang oleh kelompok-kelompok hak asasi.(BBC/ADO)
Sumber : Liputan6.com
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan, Jangan lupa komentarnya